rinduku pada desa ini

Kokokan ayam jantan yang saling menyahut membuat hati terasa damai duduk di kawasan desa. Panas matahari yang menyapa embun-embun di daun membuat aku rindu pada geseran daun-daun pokok kelapa yang ditiup angin. Bau rumput yang baru lepas dipotong selalu membuatkan aku teruja untuk pulang ke tanah ini. Kadang-kadang hanya untuk mengalami kesegaran udara desa selama 2 hari, aku sanggup menghabiskan hampir RM 50 untuk tambang pengangkutan. Huh, mungkin aku terlalu mengikut kehendak dan keinginan, mungkin juga kan?

Desa ini membawa seribu kenangan dan pengertian kepada aku. Di sini aku membesar, di sini juga aku bertatih menuntut ilmu dan desa inilah yang menyaksikan air mata ku tumpah saat ketewasan sudah melingkar di depan mata. Desa ini juglah yang membuatkan jiwa aku tidak seperti jiwa mereka. Jiwaku lebih harmonis dengan alam berbanding manusia. Jiwa yang lebih lembut dengan ketulenan berbanding kepura-puraan.

Seminggu yang lepas aku bertemu sahabat lama. Sudah 3 bulan dia diam di perantauan tanpa keinginan yang memuncak untuk pulang ke desa kecil ini. Aku tidak pasti sama ada aku kagum, bangga atau sedih dengan perbuatannya. Yang pasti, sudah 2 minggu berturut-turut aku pulang ke desa ini, membiarkan ikan di dalam peti ais di rumah sewaku membeku mengikut peredaran waktu.

Kerinduan itu kadang-kadang tiada batasnya juga, kadang-kadang aku rindu untuk menaiki bas awam, rindu untuk bermain sewaktu kecil-kecil dahulu dan juga rindu untuk hidup di asrama yang amat kubenci dahulu.

Zaidah kadang-kadang mereng dan kadang-kadang tertekan jiwanya, dan di kala itu, dia perlu untuk berbicara, merepek buat seketika. Dan hari ini, dia merepek lagi.